Rezeki itu sudah diatur
Oleh : Agus Purwanto

"Dan tidak ada sesuatu yang melata di bumi melainkan Allah memberi rezekinya dan Dia mengethaui tempat kediamannya dan tempat menyimpannya. Semuanya ditetapkan dalam kita yang nyata" al Hud : 6 Dari cuplikan ayat ini bisa kita mengambil banyak pelajaran, yang perlu kita renungi kembali dari gambaran hal itu. Rezeki yang telah diberikan kepada seorang hamba sudahlah tertulis dari sejak lahir hingga ia menemui Rabb Nya.  Ketika lahir semua ketentuannya sudah ditulis oleh para malaikat tentang seorang hamba. Baik dari rezeki, ajal dan perbuatannya baik atau buruk.

Rezeki adalah sebuah kenikmatan yang Allah berikan kepada hambanya dan tidak akan terputus selama jiwa di kandung badan. Karena memang sudah tertulis pada catatan Ilahi, dan orang lain tidak akan merebutnya. Demikian yang dikatakan oleh Hasan Basri "anna rezekii la ya'hud ghairi". (bahwa rezeki saya tidak akan mungkin direbut oleh orang lain). Namun terkadang ke terbatasan ilmu dan pemahaman dimiliki oleh sang hamba tentang hakekat ini,  membuatnya gelap mata dalam memandang persolanan tersebut. 

Ketakutan akan rezekinya diambil orang, sehingga dia bekerja dan mencari rezeki tidak mau mengenali lagi etika yang telah disyariatkan dalam islam. Main serobot tanpa melihat rambu-rambu yang telah dipasang, padahal itu merupakan pedoman baginya untuk berinteraksi dalam mencari sebuah penyambung kehidupan. Bukan berarti, dituntut untuk duduk berpangku tangan, diam dan tanpa usaha. Lantas akan datang menghampiri kita. Itu pun sebuah prinsip kurang benar.

Islam mengajarkan doa, bagaimana agar Allah selalu menjaga rezeki kita dari barang haram. Doa itu sering kita dengar dan kerap di lantunkan. "Allahuma ar zukna rizkon halalan thayiban mubarakan mina syamai war ardhi" (Ya Allah berikan rezeki kepada kami sebuah rezeki yang penuh barakah dari langit dan bumi). Allah maha kuasa dan maha pemberi, pasti akan memberikan rezeki setiap hambanya dimanapun  berada. 

Walaupun dia hidup ditempat terkecil, ditempat yang tidak didatangi oleh seorangpun, pasti Allah akan memberikan rezekinya. Karena memang sudah menjadikan janji Allah bagi semua manusia akan diberikan haknya. Masya Allah bukankah sebuah kenikmatan besar sekali bagi hamba dimuka bumi. Dan merupakan sebuah penghargaan bersar kepada hamba, patut disyukuri sedalam-dalamnya. Kalaulah sang hamba tidak mensyukurinya, maka sebuah kerugian besar akan menimpa dirinya. 

Allah tidak akan rugi dengan ketidak bersyukurnya seorang hamba, dan tidak akan mempengaruhi akan kebesaran dan kekuasaannya. Bagaikan setitik air jatuh ke lautan. Sejenak kita melihat sebuah kisah seorang shaleh di Damascus mengenai janji Allah tersebut. Seorang shaleh ini adalah pembelah batu. merupakan kerjaan beliau tiap harinya. Suatu ketika beliau membelah batu, ada sebuah keajaiban yang ia temui didalamnya. Terlihat didalam batu itu ada dua buah tumbuhan warna hijau tumbuh didalamnya. Segar bugar dan tampak tidak layu.

Dari sini beliau berpikir, bagaimana dia bisa mendapatkan makanan, dari mana sinar matahari masuk dsb. Maka setelah melihat ayat (tanda kebesaran Allah) sehingga beliau bertaubat. Coba bayangkan sejenak, didalam sebuah batu, tumbuh dua buah tumbuhan didalamnya dengan segar bugar sebagaimana tumbuhan lainya. bukankah merupakan sebuah ayat Allah dan janji kebenaran Allah, rezeki itu akan diberikan kepada siapa saja dan dimana saja.

Juga sebuah peristiwa di zaman imam Auzai', beliau beritikaf selama sepuluh tahun. Pas ketika suatu hari beliau keluar dari tempat i'tikafnya. Kemudian beliau di tanya oleh seseorang " Ya imam bagaimana engkau mendapat bahan makanan selamat 10 tahun itu" dijawab oleh imam : "Man syakka fi rizkii syaka fii kholki" (barang sapa yang ragu mengenai rezeki maka dia ragu akan pencipta).

Ketakutan kita terhadap rezeki keturunan pun menghinggapi diri, bahkan seakan enggan untuk menambah keturunan. Orang berpikir, nanti kalau saya punya banyak anak, lantas siapa yang mau biayain hidupnya. Sedangkan sekarang saja memberikan makan kepada keluarga, nafasnya senen kamis. Bukankah banyak anak itu malah membuat pekerjaan keluarga, menambah beban hidup dan hitungan dalam biaya keseharian. 

Waduh repot deh kalau harus nambah anak lagi, dua saja sudah repot ngurus dan biayainnya, apa lagi kalau nambah. Tidak deh, cukup dua saja.Padahal kita tidak usah memikirkan masalah rezeki si anak, Allah sudah mengatur rezeki masing-masing dari mulai kehadiran pertama di dunia hingga menemuiNya. Bukankah banyak anak akan bertambah rezekinya. Sepertinya ada baiknya juga pepetah orang dahulu mengatakan hal itu. 

Coba kita merenung sejenak, jika dalam satu keluarga berjumlah lima orang dibandingkan dengan tujuh orang, akan lebih banyak yang berjumlah tujuh. Karena setiap orang masing-masing mempunyai jatah. Dan setiap orang berbeda takarannya, itulah keterbatasan sang hamba yang tidak diketahui untuk menggapai sesuatu yang ghaib.Kata "imlaq" dalam Al Qur'an merupakan sebuah gambaran ke faqiran (miskin) yang sangat di takuti oleh orang. 

Menurut Ibnu Abbas dan Qatadah arti imlaq adalah fakir atau janganlah membunuh mereka (anak-anakmu) akibat dari kefakiran yang kamu alami. Padahal sambungan ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Allah yang akan memberikan rezeki mereka. Dan hanya Allah maha tahu dan pemberi terhadap setiap hambanya. Sekarang timbul permasalah kepermukan mengenai rezeki itu, seakan sebuah momok dalam permasalahan kehidupan dan menjadi pikiran siang malam. Sehingga memusingkan kepala sampai tidak bisa tidur, kurus kerontang dan nafsu makan berkurang.

Wahai hamba Allah yang dikasihi, percayalah bahwa rezeki itu tidak akan habis, baik untuk individu, keluarga, masyarakat dan bangsa. Malaikat bertugas pembawa rezeki setiap hari akan datang kepada kita untuk memberikan hak tersebut. Hingga pada suatu saat malaikat tersebut tidak lagi menemukan rezeki sang hamba baik itu di timur mau pun di barat, maka saat itulah merupakan detik-detik terakhir sang hamba hidup didalam dunia, tidak lama lagi ia akan menemui Ilahi Rabbi. Jadi di sinilah batas akhir pemberian rezeki oleh Allah kepada seorang hamba, hingga detik-detik perpisahan jiwa dari bumi menuju alam selanjutnya.